Minggu, 13 November 2011

draft dpr RUU PENDIDIKAN TINGGI 2011






PTK














RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI

Komisi X









Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

2011














RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN 2011
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang    :     a.   bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia;
b.   bahwa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia;
c.   bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional;
d.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi;

Mengingat      :     1.   Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.   Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan   :     UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN TINGGI.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.     Pendidikan Tinggi adalah pembudayaan dan pemberdayaan mahasiswa melalui kegiatan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat untuk menghasilkan lulusan yang berkompeten, beradab, dan berbudaya serta karya dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni dalam pendidikan formal yang mencakup jenis pendidikan vokasi, profesi, dan akademik yang diselenggarakan dalam suatu program studi secara terstruktur dan berjenjang pada strata tertentu.
2.     Pendidikan Vokasi adalah jenis pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi dalam penguasaan keterampilan tertentu untuk dapat menyelesaikan masalah pada bidang pekerjaan yang spesifik.
3.     Pendidikan Profesi adalah jenis pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi inovatif dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk menyelesaikan masalah pada bidang pekerjaan yang spesifik.
4.     Pendidikan Akademik adalah jenis pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi adaptif dan inventif serta menghasilkan dan mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni yang dapat menyelesaikan masalah pada bidang pekerjaan umum.
5.     Program Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan tinggi berdasarkan kurikulum dan metodpembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan vokasi, profesi, atau akademik pada satu strata.
6.     Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan formal yang mengelola pendidikan tinggi berupa Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Kedinasan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Pemerintah serta Perguruan Tinggi Swasta yang didirikan dan diselenggarakan oleh masyarakat.
7.     Perguruan Tinggi Negeriselanjutnya disingkat PTN, adalah perguruan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh Pemerintah.
8.     PTN yang diselenggarakan oleh Kementerian adalah PTN Umum.
9.     PTN yang diselenggarakan oleh Kementerian bersama Kementerian lain, dan/atau LPNK adalah PTN Khusus.
10.  Perguruan Tinggi Swastaselanjutnya disingkat PTS, adalah perguruan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh badan hukum nirlaba yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11.  Perguruan Tinggi Kedinasan, selanjutnya disingkat PTK, adalah perguruan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh Pemerintah, untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional untuk memenuhi kebutuhan kompetensi spesifik pegawai negeri di kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan.
12.  Statuta Perguruan Tinggiselanjutnya disebut Statutaadalah peraturan dasar bagi Perguruan Tinggi yang digunakan sebagai landasan untuk merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, dan mengembangkan kegiatan akademik dan nonakademik Perguruan Tinggi.
13.  Organ Perguruan Tinggi, selanjutnya disebut Organ, adalah unit organisasi Perguruan Tinggi yang menjalankan fungsi Perguruan Tinggi, baik sendiri maupun bersama-sama.
14.  Majelis Pemangku adalah Organ yang menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum.
15.  Pemimpin adalah pejabat yang memimpin Organ yang menjalankan fungsi pengelolaan dengan sebutan rektor untuk universitas atau institut, ketua untuk sekolah tinggi, atau direktur untuk politeknik atau akademi.
16.  Pimpinan adalah Pemimpin bersama dan sekelompok pejabat di bawahnya yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan Statuta untuk secara bersama-sama menjalankan fungsi pengelolaan.
17.  Senat Akademik adalah Organ yang menjalankan fungsi perencanaan dan pengawasan kebijakan akademik.
18.  Satuan Pengawas adalah Organ yang menjalankan fungsi pengawasan nonakademik.
19.  Sivitas Akademika adalah kelompok atau warga masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa dengan perwakilannya yang terbentuk melalui senat masing-masing.
20.  Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
21.  Mahasiswa adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jenjang pendidikan tinggi dan jenis pendidikan tertentu.
22.  Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
23.  Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
24.  Kementerian adalah kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pendidikan nasional.
25.  Kementerian lain adalah kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang selain pendidikan nasional.
26.  Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, selanjutnya disingkat LPNK, adalah badan atau lembaga Pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi yang tidak termasuk dalam tugas dan fungsi Kementerian atau kementerian lain.
27.  Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
28.  Menteri lain adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang selain pendidikan nasional.
29.  Kepala atau Ketua LPNK adalah pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian.




Pasal 2
Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3
Pendidikan Tinggi berasaskan:
a.    kebenaran ilmiah;
b.    otonomi keilmuan;
c.    kebebasan akademik;
d.    kejujuran; dan
e.    keadilan.

Pasal 4
Pendidikan Tinggi bertujuan:
a.    menghasilkan lulusan yang menguasai bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang dipelajari serta mampu mengaplikasikan dalam peningkatan daya saing bangsa serta memiliki sikap toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional; dan
b.    menghasilkan karya penelitian dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.

Pasal 5
(1)  Pendidikan Tinggi berfungsi membentuk dan mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, serta sikap kooperatif mahasiswa melalui pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu:
a.    dharma pendidikan;
  1. dharma penelitian; dan
  2. dharma pengabdian kepada masyarakat.
(2)  Ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan ketiga dharma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan setiap jenis pendidikan vokasi, profesi, atau akademik.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan ketiga dharma sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB II
SISTEM PENDIDIKAN TINGGI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6

Sistem Pendidikan Tinggi sebagai komponen dari Sistem Pendidikan Nasional merupakan interaksi yang saling terkait secara terpadu antara komponen Pemerintah, Perguruan Tinggi, dan masyarakat untuk menghasilkan:
a.    lulusan yang menguasai bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang mandiri dan berdaya saing tinggi;
b.    invensi dan inovasi ilmu, teknologi dan/atau seni yang mampu meningkatkan taraf hidup untuk menjadi bangsa maju;
c.    peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pasal 7
(1)  Pemerintah berfungsi sebagai penentu kebijakan, regulator, fasilitator, dan evaluator pendidikan tinggi.
(2)  Perguruan tinggi berfungsi sebagai pengelola pendidikan tinggi melalui mandat dan pendanaan yang diterima dari Pemerintah.
(3)  Masyarakat berfungsi sebagai penentu kompetensi dan pengguna lulusan, serta sebagai fasilitator dan pengawas Perguruan Tinggi.

Pasal 8
(1)   Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terdiri atas Menteri, Menteri lain, dan/atau Kepala atau Ketua LPNK.
(2)   Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
(3)   Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Kementerian lain, dan/atau LPNK bersama Menteri lain, dan/atau Kepala LPNK.
(4)   Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik di PTS.

Pasal 9
(1)  Pendidikan tinggi dikelola oleh perguruan tinggi.
(2)  Perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima delegasi atau mandat dari Menteri, atau Menteri bersama Menteri lain dan/atau Kepala LPNK.
(3)  PTS menerima delegasi atau mandat dalam bidang akademik dari Menteri.

Pasal 10
(1)  Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
(2)  Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a.    ikut menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi atau organisasi pelaku usaha;
b.    ikut mendanai Pendidikan Tinggi;
c.    mengawasi penyelenggaraan Pendidikan Tinggi melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat;
d.    mendirikan PTS; dan/atau
e.    berpartisipasi dalam lembaga semi-Pemerintah yang dibentuk oleh Menteri.

Pasal 11
(1)   Perguruan Tinggi, lembaga penelitian, pusat studi, atau lembaga sejenis dapat menerbitkan terbitan berkala ilmiah.
(2)   Terbitan berkala ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat artikel hasil penelitian yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(3)   Terbitan berkala ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara tercetak dan secara elektronik melalui jejaring teknologi informasi dan komunikasi.
(4)   Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa hasil penelitian empiris atau hasil penelitian teoritis.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai terbitan berkala ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 12
(1) Perguruan Tinggi melaksanakan pengabdian kepada masyarakat.
(2) Pelaksanaan pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh sivitas akademika secara orang perseorangan atau kelompok untuk menerapkan hasil pendidikan dan/atau hasil penelitian dalam upaya pemberdayaan masyarakat, pengembangan industri, jasa, dan wilayah.
(3) Hasil pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimanfaatkan untuk pengayaan pembelajaran dan penelitian.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Pendidikan Tinggi

Pasal 13
(1)   Pendidikan Tinggi dilaksanakan melalui Program Studi oleh Perguruan Tinggi.
(2)   Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada setiap strata pada jenis Pendidikan Tinggi tertentu.
(3)   Strata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyelenggarakan 1 (satu) Program Studi atau lebih.

Pasal 14
(1)  Program Studi dapat dilaksanakan di luar domisili Perguruan Tinggi setelah memenuhi persyaratan tertentu.
(2)  Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau jarak jauh khusus untuk Pendidikan Akademik.

Pasal 15
(1)   Pembukaan dan perubahan Program Studi di Perguruan Tinggi wajib memperoleh izin Menteri.
(2)   Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pembukaan, perubahan, dan penutupan Program Studi kepada Perguruan Tinggi tertentu.

Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17
(1)  Pendidikan Tinggi dikelola oleh Perguruan Tinggi melalui Program Studi dan berakhir dengan perolehan gelar.
(2)  Jenis Pendidikan Tinggi terdiri atas:
  1. Pendidikan Akademik;
b.    Pendidikan Profesi; dan
c.    Pendidikan Vokasi.
(3)  Strata Pendidikan Tinggi terdiri atas:
a.    Strata pada jenis Pendidikan Akademik;
b.    Strata pada jenis Pendidikan Profesi; dan
c.    Strata pada jenis Pendidikan Vokasi.

Pasal 18
Strata pada jenis Pendidikan Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 17 ayat (3) huruf terdiri atas:
a.    strata sarjana;
b.    strata magister; dan
c.    strata doktor.

Pasal 19
(1)   Strata pada jenis Pendidikan Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf b terdiri atas:
a.    strata profesi; dan
b.    strata spesialis.
(2)   Strata profesi merupakan strata yang dapat ditempuh setelah strata sarjana pada jenis pendidikan akademik.
(3)   Strata profesi setara dengan strata magister dan strata spesialis setara dengan strata doktor pada jenis pendidikan akademik.

Pasal 20
Strata pada jenis Pendidikan Vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf terdiri atas:
a.    strata diploma satu;
b.    strata diploma dua;
c.    strata diploma tiga; dan
d.    strata diploma empat atau strata sarjana terapan.

Pasal 21
(1)  Jenis pendidikan akademik dapat merupakan kelanjutan Strata diploma empat atau strata sarjana terapan pada jenis pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal  20 huruf d melalui penyetaraan.
(2)  Jenis pendidikan akademik yang merupakan kelanjutan dari strata diploma empat atau strata sarjana terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.    strata magister terapan; dan
b.    strata doktor terapan.

Pasal 22
(1)   Penyetaraan antarstrata pada antarjenis pendidikan tinggi atau perpindahan antarjenis pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 21 dilakukan melalui pengakuan atas hasil pembelajaran terdahulu.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetaraan antarstrata pada antarjenis pendidikan tinggi atau perpindahan antarjenis pendidikan tinggi dan pengakuan atas hasil pembelajaran terdahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pendanaan Pendidikan Tinggi

Pasal 23
(1)   Sumber dana untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi:
a.  Pemerintah; dan
b.  masyarakat ; .
(2)   Dana penyelenggaraan pendidikan tinggi dari Pemerintah dapat berupa:
a.  uang;
b.  sumber daya manusia;
c.   sumber daya sarana dan prasarana; dan
d.  pengurangan atau pembebasan pajak;
(3)   Dana penyelenggaraan pendidikan tinggi dari masyarakat dapat berupa:
a.   penggalangan dana abadi;
b.   penggalangan dana beasiswa; dan
c.   penggalangan dana penelitian bekerjasama dengan industri.

Pasal 24
Dana penyelenggaraan pendidikan tinggi digunakan untuk:
a.    biaya investasi;
b.    biaya operasional;
c.    beasiswa;dan
d.    bantuan biaya pendidikan.

Bagian Keempat
Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan

Pasal 25
(1)   Pada penyelenggaraan Pendidikan Tinggi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
(2)   Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mendalami dan mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni melalui kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3)   Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kebebasan dosen ataupun mahasiswa untuk menyebarluaskan hasil pendalaman dan pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni melalui penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, antara lain dalam bentuk kegiatan perkuliahan, ujian, seminar, diskusi, simposium, ceramah, publikasi ilmiah, dan pertemuan ilmiah.
(4)   Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kemandirian suatu cabang ilmu, teknologi, dan/atau seni untuk memiliki kekhasan dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran menurut kaidah serta metode keilmuannya.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Statuta.


Bagian Kelima
Gelar

Pasal 26
(1)   Lulusan Program Studi pada jenis pendidikan vokasi dan akademik berhak menggunakan gelar vokasi atau gelar akademik yang diberikan oleh Perguruan Tinggi.
(2)   Lulusan Program Studi pada jenis pendidikan profesi berhak menggunakan gelar profesi yang diberikan oleh Perguruan Tinggi atau organisasi profesi yang diakui Menteri.
(3)   Ketentuan mengenai gelar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 27
(1)   Menteri menetapkan kesetaraan ijazah dan gelar perguruan tinggi asing dengan ijazah dan gelar perguruan tinggi Indonesia.
(2)   Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan vokasi setelah melalui proses penilaian kesetaraan oleh lembaga yang ditunjuk Pemerintah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
(3)   Ketentuan mengenai penilaian dan penetapan kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam  Peraturan Pemerintah.


Pasal 28
(1)   Pada Perguruan Tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Sebutan guru besar atau profesor hanya digunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai dosen di Perguruan Tinggi.

Pasal 29
(1)  Penerimaan mahasiswa baru strata sarjana dan sarjana terapan untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional, penelusuran minat dan bakat, atau bentuk lain yang sejenis.
(2)  PTN wajib memprioritaskan penerimaan mahasiswa baru melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional.
(3)  Mahasiswa baru yang terjaring melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk mahasiswa, orangtua dan/atau pihak yang tidak mampu membiayai secara ekonomi.

Pasal 30
(1)  Warga negara asing dapat menjadi mahasiswa pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)  Ketentuan mengenai mahasiswa warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB III
PERGURUAN TINGGI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 31
(1)  Perguruan Tinggi merupakan satuan pendidikan formal yang mengelola pendidikan tinggi.
(2)  Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan visi masing-masing untuk memenuhi visi pendidikan nasional.
(3)  Perguruan Tinggi mempunyai misi yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi.

Pasal 32
(1)  Perguruan Tinggi terdiri atas PTN, PTK, dan PTS
(2)  PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.     PTN yang diselenggarakan oleh Kementerian; dan
b.    PTN yang diselenggarakan oleh Kementerian bersama Kementerian lain, dan/atau LPNK

Pasal 33
(1)   Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya.
(2)   Pengelolaan Perguruan Tinggi berdasarkan prinsip:
a.  nirlaba;
b.  otonomi;
c.   efektivitas dan efisiensi;
d.  transparansi;
e.  akuntabilitas; dan
f.    penjaminan mutu.

Pasal 34
(1)   Universitas, institut, dan sekolah tinggi wajib melaksanakan penelitian dasar, penelitian terapan, penelitian pengembangan, dan/atau penelitian industri.
(2)   Politeknik dan akademi dapat melakukan penelitian terapan, dan/atau penelitian industri.
(3)   Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan untuk:
a.  mencari dan/atau menemukan kebaruan substansi ilmu, teknologi, dan/atau seni; dan/atau
b. menguji ulang teori, konsep, prinsip, prosedur, metode, dan/atau model yang telah menjadi substansi ilmu, teknologi, dan/atau seni.
(4) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan oleh dosen dan/atau mahasiswa sesuai dengan norma dan etika akademik dalam otonomi keilmuan.
(5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dipublikasikan pada terbitan berkala ilmiah dalam negeri terakreditasi, atau terbitan berkala ilmiah internasional yang diakui Kementerian.
(6) Hasil penelitian dosen harus diseminarkan dan dipublikasikan pada terbitan berkala ilmiah terakreditasi atau yang diakui Kementerian.
(7) Hasil penelitian Perguruan Tinggi diakui sebagai penemuan baru setelah dimuat dalam terbitan berkala ilmiah terakreditasi yang diakui Kementerian dan/atau mendapatkan hak kekayaan intelektual.
(8) Hasil penelitian Perguruan Tinggi yang dilaksanakan oleh dosen dimanfaatkan untuk memperkaya materi pembelajaran mata kuliah yang relevan.


Bagian Kedua
Kedudukan, Fungsi, dan Tugas Perguruan Tinggi

Pasal 35
(1)   Perguruan Tinggi berkedudukan sebagai pengelola Pendidikan Tinggi berdasarkan pendelegasian tugas atau pemberian mandat oleh Menteri.
(2)   Tugas atau mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi bidang akademik dan/atau nonakademik.

Pasal 36
PTN yang diselenggarakan oleh Kementerian menerima pendelegasian tugas dari Menteri untuk mengelola Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik dan nonakademik.

Pasal 37
(1)  PTN yang diselenggarakan oleh Kementerian bersama Kementerian lain, dan/atau LPNK menerima pendelegasian tugas dari Menteri untuk mengelola Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik.
(2)  Kementerian dapat mendelegasikan tugas dan mandat kepada Kementerian lain, dan/atau LPNK dalam bidang akademik.

Pasal 38
PTK yang diselenggarakan oleh Kementerian lain, dan/atau LPNK menerima pendelegasian tugas dari Menteri untuk mengelola Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik.
Pasal 39
PTS yang diselenggarakan oleh badan hukum nirlaba menerima pendelegasian tugas dari Menteri untuk mengelola Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik.


Pasal 40
Menteri berwenang mengubah atau menarik pendelegasian tugas atau pemberian mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 dengan melakukan perubahan atau pencabutan izin pendirian Perguruan Tinggi.

Pasal 41
Perguruan Tinggi berfungsi memberikan pelayanan Pendidikan Tinggi kepada mahasiswa, melakukan pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni melalui penelitian ilmiah, yang hasilnya disebarluaskan melalui proses pembelajaran pada Pendidikan Tinggi serta diabdikan untuk pengembangan masyarakat.

Pasal 42
Perguruan Tinggi bertugas untuk melaksanakan:
a.  Program Studi pada suatu Strata dalam jenis pendidikan tertentu;
b.  pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni untuk masa depan bangsa dan negara;
c.  pelayanan dan pengabdian untuk menyelesaikan permasalahan dan meningkatkan kemampuan masyarakat; dan
d. pengembangan kapasitas Perguruan Tinggi agar menjadi Perguruan Tinggi yang akuntabel, sehat, dan maju.

Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian, kedudukan, fungsi, dan tugas Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 42 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Bentuk Perguruan Tinggi dan Jenis Pendidikan

Pasal 44
(1)  Perguruan Tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
(2)  Perguruan Tinggi  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi wewenang menyelenggarakan jenis pendidikan berdasarkan bentuk Perguruan Tinggi.

Pasal 45
(1)  Universitas dan institut berwenang menyelenggarakan:
a.    jenis pendidikan akademik; dan
b.    jenis pendidikan profesi.
(2)  Politeknik berwenang menyelenggarakan jenis pendidikan vokasi.
(3)  Akademi berwenang menyelenggarakan jenis pendidikan vokasi.
(4)  Sekolah Tinggi berwenang menyelenggarakan jenis pendidikan akademik pada satu rumpun ilmyang spesifik.
(5)  Perubahan wewenang penyelenggaraan jenis pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dilakukan oleh Menteri.

Pasal 46
(1)  Lembaga Pendidikan Tinggi Asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(2)  Penyelenggara Pendidikan Tinggi Asing wajib bekerja sama dengan lembaga Pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.

Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk Perguruan Tinggi dan jenis pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Otonomi

Pasal 48
Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

Pasal 49

(1)   Otonomi Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi diberikan sesuai dengan kapasitas Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
(2)   Status Perguruan Tinggi berdasarkan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.  Perguruan Tinggi berbadan hukum;
b. Perguruan Tinggi mandiri; dan
c.  PTN dan PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian Lain, dan/atau LPNK.

Pasal 50
(1) Perguruan Tinggi berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a terdiri atas:
aPTN berbadan hukum yang memiliki otonomi aspek akademik dan aspek nonakademik; dan
b.  PTS berbadan hukum yang memiliki otonomi aspek akademik.
(2)  Perguruan tinggi mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. PTN mandiri yang memiliki otonomi dalam aspek akademik dan aspek nonakademik; dan
b. PTS mandiri yang memiliki otonomi dalam aspek akademik.
(3) PTS dapat berstatus badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atas prakarsa badan hukum nirlaba yang mendirikannya.

Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pendirian, Perubahan, dan Penutupan

Pasal 52
(1)   Pendirian Perguruan Tinggi wajib memperoleh izin Menteri.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 53
(1)  Perubahan Perguruan Tinggi terdiri atas:
a.   perubahan nama dan/atau bentuk dari nama dan/atau bentuk Perguruan Tinggi tertentu menjadi nama dan/atau bentuk Perguruan Tinggi yang lain;
b.   penggabungan 2 (dua) Perguruan Tinggi atau lebih menjadi 1 (satu) Perguruan Tinggi baru;
c.   1 (satu) Perguruan Tinggi atau lebih menggabungkan diri ke Perguruan Tinggi lain;
d.   pemecahan dari 1 (satu) bentuk Perguruan Tinggi menjadi 2 (dua) bentuk Perguruan Tinggi atau lebih yang lain; atau
e.   pengalihan Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 54
(1)   Menteri mencabut izin pendirian Perguruan Tinggi apabila:
a.  Perguruan Tinggi tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan pendirian Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b.  proses penyelenggaraan Perguruan Tinggi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Keenam
Statuta

Pasal 55
(1)  Setiap Perguruan Tinggi menyusun dan menetapkan Statuta sebagai dasar pelaksanaan kegiatan akademik dan nonakademik.
(2)  Statuta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai peraturan dasar dalam penyusunan peraturan bidang akademik dan nonakademik, serta prosedur operasional di Perguruan Tinggi.
(3)  Statuta paling sedikit memuat:
a.   pembukaan;
b.   ketentuan umum;
c.   visi, misi, dan tujuan;
d.   identitas;
e.   jalur, jenjang, jenis, dan strata pendidikan, bentuk perguruan tinggi, program pendidikan, serta program studi;
f.    sistem penjaminan mutu internal dan eksternal;
g.   kebebasan akademik dan otonomi keilmuan;
h.   gelar akademik dan penghargaan;
i.    susunan organisasi;
j.     tata cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan dan anggota Organ;
k.   dosen dan tenaga kependidikan;
l.     mahasiswa dan alumni;
m. kerja sama;
n.   sarana dan prasarana;
o.   pendanaan dan pembiayaan;
p.   pengawasan dan akuntabilitas; dan
q.   ketentuan penutup.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai Statuta diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 56
(1)   Statuta PTN berbadan hukum ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(2)   Statuta PTN mandiri ditetapkan oleh Majelis Pemangku atas usul Senat Akademik.

Pasal 57
(1)   Statuta PTS berbadan hukum disusun oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya dan ditetapkan dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(2)   Statuta PTS mandiri ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya.

Pasal 58
Statuta PTN atau PTK sebagai UPT Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah nonkementerian ditetapkan oleh Menteri atas usul Senat Akademik.


Bagian Ketujuh
Tata Kelola PTN dan PTK

Pasal 59
Jumlah dan jenis fungsi serta jumlah dan jenis organ pada PTN ditetapkan berdasarkan otonomi PTN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2).

Pasal 60
PTN berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a memiliki fungsi dan organ:
a.    fungsi penentuan kebijakan umum dijalankan oleh Majelis Pemangku;
b.    fungsi pengelolaan dijalankan oleh Pimpinan;
c.    fungsi perencanaan dan pengawasan akademik dijalankan oleh Senat Akademik; dan
d.    fungsi pengawasan nonakademik dijalankan oleh Satuan Pengawas.

Pasal 61
PTN mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b memiliki fungsi dan organ:
a.  fungsi penentuan kebijakan umum dijalankan oleh Majelis Pemangku;
b.  fungsi pengelolaan dijalankan oleh Pimpinan;
c.   fungsi perencanaan dan pengawasan akademik dijalankan oleh Senat Akademik; dan
d.  fungsi pengawasan nonakademik dijalankan oleh Satuan Pengawas.

Pasal 62
PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, kementerian lain, atau LPNK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf c memiliki fungsi dan Organ:
a.  fungsi pengelolaan dijalankan oleh Pimpinan;
b.  fungsi perencanaan dan pengawasan akademik dijalankan oleh Senat Akademik; dan
c.   fungsi pengawasan nonakademik dijalankan oleh Satuan Pengawas.

Paragraf 1
Majelis Pemangku

Pasal 63
(1)   Anggota Majelis Pemangku diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(2)   Menteri mendelegasikan tugas dan wewenangnya kepada Majelis Pemangku.

Pasal 64
Anggota Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) terdiri atas:
a.    Menteri atau yang mewakili;
b.    Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
c.    Menteri lain atau pemimpin lembaga negara nonkementerian atau yang mewakili, bagi yang mengelola PTK;
d.    Wakil dari Senat Akademik;
e.    Pemimpin perguruan tinggi;
f.      gubernur;
g.    wakil dari sivitas akademika; dan
h.    wakil dari masyarakat.

Pasal 65
Majelis Pemangku bertugas dan berwenang:
a.    menetapkan statuta dan perubahan statuta atas usul Senat Akademik;
b.    menetapkan rencana pengembangan jangka panjang, rencana strategis, rencana kerja dan anggaran tahunan atas usul Pemimpin setelah mendapat pertimbangan Senat Akademik;
c.    menyusun dan menetapkan kebijakan umum atas usul Pemimpin setelah mendapat pertimbangan Senat Akademik;
d.    mengesahkan usul Senat Akademik tentang ketua, sekretaris, dan anggota Senat Akademik;
e.    mengangkat dan memberhentikan Pemimpin atas usul Senat Akademik;
f.      mengangkat dan memberhentikan ketua serta anggota Satuan Pengawas;
g.    melakukan pengawasan umum atas pengelolaan PTN;
h.    melakukan evaluasi tahunan atas kinerja Pemimpin; dan
i.      melakukan penilaian laporan pertanggungjawaban tahunan Pemimpin, Senat Akademik, dan Satuan Pengawas.


Pasal 66
(1)  Majelis Pemangku dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua dan dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.
(2)  Ketua, sekretaris, dan anggota Majelis Pemangku berkewarganegaraan Indonesia.
(3)  Masa jabatan ketua, sekretaris, dan anggota Majelis Pemangku adalah 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengusulan ketua, sekretaris, dan anggota Majelis Pemangku diatur dalam Statuta.
(5)  Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian ketua, sekretaris, dan anggota diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 67
(1)  Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b, mendelegasikan tugas dan wewenangnya di bidang keuangan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri kepada Majelis Pemangku.
(2) Tugas dan wewenang Majelis Pemangku di bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.  menetapkan tarif layanan dan biaya satuan;
b.  menetapkan rencana alternatif perolehan dana;
c.   menetapkan sistem dan besaran remunerasi;
d.  melakukan pinjaman dana jangka pendek dan jangka panjang;
e.  melakukan investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha dan/atau portofolio; dan
f.    melaporkan keuangan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri sesuai standar akuntansi kepada Menteri Keuangan.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian wewenang serta tugas dan wewenang Majelis Pemangku di bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan.

Pasal 68
(1)   Pengambilan keputusan oleh Majelis Pemangku dalam penentuan kebijakan umum dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(2)   Dalam hal pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai mufakat, pengambilan keputusan dilakukan melalui pemungutan suara.
(3)   Ketentuan mengenai tata cara pengambilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) keputusan diatur dalam Statuta.


Paragraf 2
Pemimpin

Pasal 69
(1)  Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a terdiri atas 1 (satu) orang Pemimpin dan paling sedikit 2 (dua) orang Wakil Pemimpin.
(2)  Wakil Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a.   wakil Pemimpin bidang akademik; dan
b.   wakil Pemimpin bidang nonakademik.

Pasal 70
(1)  Pemimpin pada PTN berbadan hukum dan PTN mandiri diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Pemangku atas usul Senat Akademik.
(2) Masa jabatan Pemimpin pada PTN berbadan hukum dan PTN mandiri selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3)  Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian Pemimpin pada PTN berbadan hukum dan PTN mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Statuta.

Pasal 71
(1) Pemimpin pada PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian lain, atau LPNK diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, Menteri lain, dan/atau Kepala LPNK sesuai dengan kewenangan masing-masing atas usul Senat Akademik.
(2) Masa jabatan Pemimpin pada PTN atau PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3)  Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian Pemimpin pada PTN atau PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Statuta.

Pasal 72
(1)  Pemimpin pada PTN atau PTK bertindak ke luar untuk dan atas nama PTN atau PTK berdasarkan Statuta.
(2)  Pemimpin pada PTN atau PTK tidak berwenang bertindak untuk dan atas nama PTN atau PTK dalam hal:
a. terjadi perkara di depan pengadilan antara PTN atau PTK dengan Pemimpin PTN atau PTK; atau
b. pemimpin PTN atau PTK mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan PTN atau PTK menurut pertimbangan Senat Akademik.
(3)  Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)Senat Akademik harus menunjuk seseorang yang berasal dari salah satu organ PTN atau PTK bertindak untuk dan atas nama PTN atau PTK.

Pasal 73
(1)   Pemimpin PTN atau PTK dan wakilnya dilarang merangkap:
a.   jabatan pada Perguruan Tinggi lain;
b.   jabatan pada lembaga pemerintah pusat atau daerah; atau
c.   jabatan lain yang ditetapkan oleh Senat Akademik.
(2)   Pemimpin pada PTN atau PTK dan wakilnya yang mempunyai jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dari jabatannya.

Pasal 74
Pemimpin pada PTN atau PTK bertugas dan berwenang:
a.  menyusun rencana pengembangan jangka panjang 25 tahun, rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan untuk diusulkan kepada Majelis Pemangku atau Menteri setelah mendapat pertimbangan Senat Akademik;
b.  menyusun kebijakan umum untuk diusulkan kepada Majelis Pemangku atau Menteri setelah mendapat pertimbangan Senat Akademik;
c.   menyusun dan menetapkan kebijakan dan peraturan akademik setelah mendapatkan persetujuan Senat Akademik;
d.  menyusun dan menetapkan kebijakan, manual, standar, dan formulir sistem penjaminan mutu internal setelah mendapatkan persetujuan Senat Akademik;
e.  mengelola Pendidikan Tinggi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran tahunan yang telah ditetapkan;
f.    mengelola penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan rencana kerja dan anggaran tahunan yang telah ditetapkan;
g.  mengangkat dan memberhentikan wakil rektor/ketua/direktur, dosen, dan tenaga kependidikan berdasarkan Statuta;
h.   menjatuhkan sanksi kepada sivitas akademika yang melakukan pelanggaran terhadap norma, etika, dan/atau peraturan akademik berdasarkan rekomendasi Senat Akademik;
i.    menjatuhkan sanksi kepada dosen dan tenaga kependidikan yang melakukan pelanggaran, berdasarkan Statuta; dan
j.    membina dan mengembangkan hubungan baik PTN atau PTK dengan lingkungan dan masyarakat pada umumnya.


Paragraf 3
Senat Akademik

Pasal 75
Anggota Senat Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b terdiri atas:
a.  wakil dari dosen berjabatan akademik profesor setiap jurusan atau nama lain yang sejenis;
b.  wakil dari dosen berjabatan akademik bukan profesor setiap jurusan atau nama lain yang sejenis; dan
c.   kepala perpustakaan.

Pasal 76
(1)   Anggota Senat Akademik pada PTN berbadan hukum dipilih dari dan oleh setiap jurusan atau nama lain yang sejenis, dan disahkan oleh Majelis Pemangku .
(2)   Anggota Senat Akademik pada PTN mandiri dipilih dari dan oleh setiap jurusan atau nama lain yang sejenis, dan disahkan oleh Menteri.
(3)   Anggota Senat Akademik pada PTN yang diselenggarakan oleh Kementerian lain, dan/atau LPNK dipilih dari dan oleh setiap jurusan atau nama lain yang sejenis, dan disahkan oleh Menteri lain, dan/atau Kepala LPNK.
(4)   Anggota Senat Akademik pada PTK dipilih dari dan oleh setiap jurusan atau nama lain yang sejenis, dan disahkan oleh Menteri lain, dan/atau Kepala LPNK.
(5)   Anggota Senat Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
a.   wakil dosen guru besar atau profesor; dan
b.   wakil dosen bukan guru besar atau bukan profesor.
(6)   Perimbangan jumlah wakil anggota Senat Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) proporsional antarjurusan dengan jumlah dosen yang diwakilinya.

Pasal 77
(1)  Senat Akademik dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua dan dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.
(2)  Masa jabatan ketua, sekretaris, dan anggota Senat Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3)  Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian ketua, sekretaris, dan anggota Senat Akademik diatur dalam Statuta.

Pasal 78
(1)  Pengambilan keputusan dalam Senat Akademik dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(2)  Dalam hal pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai mufakat, pengambilan keputusan dilakukan melalui pemungutan suara.
(3)  Ketentuan mengenai tata cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Statuta.

Pasal 79
Senat Akademik bertugas dan berwenang:
a.  memberikan pertimbangan atas rencana pengembangan jangka panjang, rencana strategis, rencana kerja dan anggaran tahunan yang diusulkan Pemimpin kepada Majelis Pemangku atau Menteri;
b.  memberikan pertimbangan atas kebijakan umum yang diusulkan Pemimpin kepada Majelis Pemangku atau Menteri;
c.   memberikan persetujuan atas kebijakan dan peraturan akademik yang disusun Pemimpin;
d.  memberikan persetujuan atas kebijakan, manual, standar, dan formulir sistem penjaminan mutu internal yang disusun Pemimpin;
e.  mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Pemimpin kepada Majelis Pemangku atau Menteri;
f.    memberikan pertimbangan kepada Majelis Pemangku tentang kinerja bidang akademik Pemimpin;
g.  memberikan pertimbangan kepada Pemimpin dalam pengusulan guru besar atau profesor;
h.   memberikan rekomendasi atas usul sanksi kepada sivitas akademika yang melakukan pelanggaran terhadap norma, etika, dan/atau peraturan akademik;
i.    menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik sivitas akademika;
j.    mengawasi pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan;
k.   memutuskan pemberian atau pencabutan sebutan, gelar akademik, dan penghargaan akademik; dan
j.   mengusulkan perubahan Statuta.

Paragraf 4
Satuan Pengawas

Pasal 80
Satuan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf c paling sedikit terdiri atas:
a.    ahli keuangan;
b.    ahli manajemen organisasi;
c.    ahli hukum; dan
d.    ahli manajemen aset.

Pasal 81
(1)   Satuan Pengawas melakukan pengawasan bidang nonakademik tata kelola PTN atau PTK.
(2)   Satuan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas ketua dan anggota.
(3)   Masa jabatan ketua dan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4)   Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian Satuan Pengawas diatur dalam Statuta.

Pasal 82
Satuan Pengawas bertugas dan berwenang:
a.  menetapkan kebijakan audit internal dan eksternal PTN atau PTK dalam bidang nonakademik;
b.  mengevaluasi hasil audit internal dan eksternal PTN atau PTK;
c.   mengambil kesimpulan atas hasil audit internal dan eksternal PTN atau PTK; dan
d.  mengajukan saran dan/atau pertimbangan tentang perbaikan pengelolaan kegiatan nonakademik PTN atau PTK kepada Majelis Pemangku atau Menteri atas dasar hasil audit internal dan/atau eksternal.

Pasal 83
Nama Satuan Pengawas dapat menggunakan nama lain yang ditetapkan dalam Statuta.

Paragraf 5
Dosen dan Tenaga Kependidikan

Pasal 84
(1)   Sumber daya manusia PTN atau PTK terdiri atas dosen dan tenaga kependidikan.
(2)   Dosen dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berstatus pegawai negeri sipil dan/atau pegawai tidak tetap.

Pasal 85
(1)   Pengangkatan dan pemberhentian dosen dan tenaga kependidikan berstatus pegawai negeri sipil ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Pengangkatan dan pemberhentian dosen dan tenaga kependidikan berstatus pegawai tidak tetap ditetapkan dalam Statuta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 86
Dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai tidak tetap membuat perjanjian kerja dengan pemimpin PTN atau PTK berdasarkan Statuta.

Pasal 87
Hak dan kewajiban dosen dan tenaga kependidikan pada PTN atau PTK ditetapkan dalam Statuta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 88
(1)   Gaji dan tunjangan bagi dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil pada PTN atau PTK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2)   Gaji dan tunjangan bagi dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai tidak tetap pada PTN atau PTK dibebankan pada PTN atau PTK yang bersangkutan.

Pasal 89
(1)  Pegawai negeri sipil pada PTN berbadan hukum dan PTN mandiri memperoleh remunerasi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)  Selain remunerasi dari Pemerintah, pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh remunerasi dari PTN berbadan hukum dan PTN mandiri sesuai dengan ketentuan dalam Statuta.

Pasal 90
(1)   Penyelesaian perselisihan antara dosen atau tenaga kependidikan pada PTN atau PTK dengan Pimpinan diatur dalam Statuta.
(2)   Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6
Pendanaan

Pasal 91
(1)   Pendanaan PTN atau PTK merupakan tanggung jawab Pemerintah.
(2)   Pendanaan PTN berasal dari hasil kerja sama antara PTN dan pemerintah daerah, serta dunia usaha.

Pasal 92
(1)   PTN dapat memperoleh sumbangan pendidikan dari:
a.    mahasiswa;
b.    orang tua mahasiswa; dan/atau
c.    donatur.
(2)   PTN dapat memperoleh bantuan dana yang tidak mengikat dari masyarakat untuk biaya operasional, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan.
(3)   Bantuan dana dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. hibah;
b. wakaf;
c.   zakat;
d. pembayaran nazar;
e. sumbangan perusahaan; dan/atau
f.    penerimaan lain yang sah.
(4)   Bantuan dana yang berasal dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak.


Pasal 93
(1)  Pola pengelolaan dana PTN atau PTK terdiri atas:
a.  pola pengelolaan dana secara mandiri untuk PTN berbadan hukum dan PTN mandiri;
b.  pola pengelolaan dana secara mandiri berdasarkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum untuk PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang khusus untuk Perguruan Tinggi; dan
c.  pola pengelolaan dana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang keuangan negara untuk PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian lain, dan/atau LPNK.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pola pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 94
(1)  PTN berbadan hukum dapat menyelenggarakan badan usaha atau portofolio sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)  Dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembangan PTN.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 95
(1)  Kekayaan PTN berbadan hukum digunakan untuk membiayai pengelolaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(2)  Biaya pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.  biaya investasi;
b.  biaya operasional;
c.  beasiswa; dan
d.  bantuan biaya pendidikan.

Pasal 96
(1)  PTN wajib menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru.
(2)  PTN wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara  ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa.
(3) Mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada Pasal 95 ayat (2) huruf b.
(4)  Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membayar biaya pendidikan sesuai dengan kemampuannya dan dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan.
(5)  Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan biaya pendidikan.
(6)  Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan biaya pendidikan diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 97
(1)  PTN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) akan dikenai sanksi administratif berupa:
a.              peringatan tertulis;
b.  penghentian sementara pendanaan;
c.  pembekuan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian; atau
d. pencabutan izin PTN.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 98
Kekayaan PTN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1dilarang dialihkan kepemilikannya secara langsung atau tidak langsung kepada siapa pun, kecuali untuk memenuhi biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.


Paragraf 7
Akuntabilitas dan Pengawasan

Pasal 99
(1)   Akuntabilitas publik PTN dan PTK terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas nonakademik.
(2)   Akuntabilitas publik PTN dan PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diwujudkan melalui keseimbangan jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap jurusan atau nama lain yang sejenis dengan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas publik PTN dan PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 100
(1)   Pengawasan PTN dan PTK dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan.
(2)   Sistem pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Statuta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 101
(1)   Laporan tahunan PTN dan PTK terdiri atas laporan bidang akademik dan laporan bidang nonakademik.
(2)   Laporan bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas laporan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3)   Laporan bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas laporan manajemen dan laporan keuangan.

Pasal 102
(1)   Pemimpin pada PTN berbadan hukum dan PTN mandiri menyusun dan menyampaikan laporan tahunan PTN secara tertulis kepada Majelis Pemangku untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan.
(2)   Pemimpin pada PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian Lain, dan/atau LPNK menyusun dan menyampaikan laporan tahunan secara tertulis kepada Menteri, dan Menteri Lain, serta Kepala LPNK sesuai kewenangan masing-masing untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan.

Pasal 103
(1)   Majelis Pemangku mengevaluasi laporan tahunan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri dalam rapat pleno Majelis Pemangku.
(2)   Hasil evaluasi rapat pleno Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Majelis Pemangku dalam memberikan persetujuan dan pengesahan laporan tahunan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri.
(3)   Majelis Pemangku memberitahukan secara tertulis laporan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri dan hasil evaluasi rapat pleno Majelis Pemangku kepada Menteri.

Pasal 104
(1)   Laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi.
(2)   Laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri diaudit oleh akuntan publik.
(3)   Badan Pemeriksa Keuangan, Inspektorat Jenderal Kementerian terkait, atau badan pengawasan daerah sesuai kewenangan masing-masing melakukan audit terhadap laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri, terbatas pada bagian penerimaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(4)   Laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri harus diumumkan kepada masyarakat melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan papan pengumuman PTN berbadan hukum dan PTN mandiri.
(5)   Administrasi dan laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri merupakan tanggung jawab Pemimpin pada PTN berbadan hukum dan PTN mandiri.

Pasal 105
Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas dan pengawasan PTN berbadan hukum dan PTN mandiri diatur dalam Statuta.

Penerimaan Mahasiswa

Pasal 106
(1) Untuk menjadi mahasiswa pada strata diploma, calon mahasiswa harus memenuhi persyaratan:
a.  memiliki ijazah pendidikan 1 (satu) jenjang atau strata di bawahnya atau memperoleh pengakuan setara atas keterampilan yang dimilikinya;
b. lulus seleksi masuk; dan
c.  memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(2) Untuk menjadi mahasiswa pada strata sarjana terapan, strata magister terapan, strata doktor terapan, atau strata sarjana, strata magister, strata doktor harus memenuhi persyaratan:
a.  memiliki ijazah pendidikan 1 (satu) strata di bawahnya atau memperoleh pengakuan setara atas pengalaman yang dimilikinya;
b. lulus seleksi masuk; dan
c.  memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
 (3)      Untuk menjadi mahasiswa pada strata profesi atau strata spesialis, harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah pendidikan 1 (satu) strata di bawahnya atau memperoleh pengakuan setara atas pengalaman yang dimilikinya;
b. lulus seleksi masuk; dan
c.  memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.

Pasal 107
(1)   Dalam hal penerimaan mahasiswa pada suatu strata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 terjadi perpindahan Program Studi dan/atau jenis pendidikan, atau membutuhkan pengakuan atas hasil pendidikan nonformal, dapat berlaku pengakuan hasil pembelajaran sebelumnya.
(2)   Hasil pembelajaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh pengakuan yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi penerima mahasiswa.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakuan hasil pembelajaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kedelapan
Tata Kelola PTS

Pasal 108
(1)   PTS menyelenggarakan aspek akademik berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Kementerian.
(2)   PTS menyelenggarakan aspek nonakademik berdasarkan Statuta yang ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya.
(3)   Penyelenggaraan aspek nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a.  penetapan fungsi dan pembentukan Organ;
b.  pengaturan dosen dan tenaga kependidikan;
cpendanaan dan pembiayaan; dan
dakuntabilitas dan pengawasan.
(4)   Senat Akademik yang berfungsi merencanakan dan mengawasi kebijakan akademik Perguruan Tinggi wajib dibentuk pada tata kelola PTS.
(5)   Statuta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disusun dengan berpedoman dalam Pasal 55 ayat (3).

Pasal 109
(1)   PTS menerima bantuan biaya investasi dan biaya operasional apabila mendapat penugasan khusus Kementerian untuk melaksanakan program tertentu dari:
a.  Pemerintah;
b.  Pemerintah Daerah; dan/atau
c.   instansi atau lembaga lain yang tidak mengikat.
(2)   PTS dapat menerima bantuan dosen yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil yang dipekerjakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Mahasiswa PTS yang memenuhi syarat berhak memperoleh beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dari:
a.  Pemerintah;
b.  Pemerintah Daerah; dan/atau
c.   instansi atau lembaga lain yang tidak mengikat.
(4)   Ketentuan mengenai persyaratan bantuan biaya investasi dan biaya operasional, bantuan dosen, serta perolehan beasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 110
(1)  PTS yang mendapatkan bantuan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a harus membuat laporan keuangan yang diperiksa oleh lembaga pemeriksa keuangan independen.
(2)  PTS yang mempunyai mahasiswa penerima beasiswa atau bantuan pendidikan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (3) huruf a harus membuat laporan keuangan yang diperiksa oleh lembaga pemeriksa keuangan independen.
(3)  PTS yang mendapatkan bantuan biaya investasi, biaya operasional, beasiswa, atau bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b dan Pasal 109 ayat (3) huruf harus membuat laporan keuangan yang diperiksa oleh lembaga pemeriksa keuangan independen.

Pasal 111
PTyang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dikenakan sanksi administratif oleh Menteri berupa:
a.     teguran lisan;
b.     teguran tertulis;
c.      penghentian bantuan pendanaan;
d.     penutupan sementara PTS; atau
e.     pencabutan izin PTS.


BAB IV
PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI

Pasal 112
(1)     Penjaminan mutu pendidikan tinggi merupakan kegiatan sistemik peningkatan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan untuk mewujudkan visi perguruan tinggi melalui penetapan, pelaksanaan, pengendalian, dan peningkatan standar pendidikan tinggi.
(2)     Perguruan tinggi dinyatakan bermutu apabila perguruan tinggi mampu mewujudkan visi perguruan tinggi tersebut secara sistemik dan berkelanjutan.

Pasal 113
(1)   Standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) terdiri atas:
a.  Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah merupakan standar minimal pendidikan tinggi di Indonesia yang wajib dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi di Indonesia;
b.  Standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi merupakan standar yang melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang wajib dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi di Indonesia.
(2)   Standar Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.  standar isi;
b.  standar proses;
c.   standar kompetensi lulusan;
d.  standar tenaga kependidikan;
e.  standar sarana dan prasarana;
f.    standar pengelolaan;
g.  standar pembiayaan; dan
h.   standar penilaian pendidikan;
i.    standar penelitian;
j.    standar pengabdian kepada masyarakat.
(3)   Standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas sejumlah standar dalam semua aspek akademik maupun aspek nonakademik setiap perguruan tinggi. 
(4)   Standar Nasional Pendidikan Tinggi maupun standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dievaluasi pemenuhannya dan ditingkatkan secara kualitatif serta berkelanjutan.
(5)   Perguruan tinggi yang berhasil memenuhi dan meningkatkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi maupun standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh perguruan tinggi berhak atas penghargaan dari Menteri.

Pasal 114
(1)   Menteri bertanggungjawab atas penyelenggaraan penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
(2)   Untuk melaksanakan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi untuk menjamin mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia.

Pasal 115
(1)   Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) terdiri atas:
a.  Sistem penjaminan mutu internal;
b.  Sistem penjaminan mutu eksternal;
c.   Pangkalan data Pendidikan Tinggi.
(2)   Sistem penjaminan mutu internal merupakan siklus kegiatan sistemik penetapan, pelaksanaan, pengendalian dan peningkatan standar pendidikan tinggi yang dilakukan oleh setiap perguruan tinggi, dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya secara kualitatif dan berkelanjutan.
(3)   Sistem penjaminan mutu eksternal merupakan kegiatan akreditasi melalui evaluasi dan penilaian berkala terhadap pemenuhan standar pendidikan tinggi yang telah dilakukan melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal, dalam setiap program studi di suatu perguruan tinggi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi atau lembaga akreditasi mandiri lain yang diakui Pemerintah.
(4)   Pangkalan data Pendidikan Tinggi merupakan kegiatan pengumpulan, penyusunan, dan penyimpanan data dan informasi tentang pemenuhan standar pendidikan tinggi pada setiap perguruan tinggi dalam suatu bank data oleh masing-masing Perguruan Tinggi dan Kementerian.
(5)   Hasil evaluasi dan penilaian berkala terhadap pemenuhan standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan kepada masyarakat oleh Menteri.

Pasal 116
(1)   Penyelenggaraan Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi dipimpin dan dikoordina-sikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)   Koordinasi yang dimaksud pada ayat (1) merupakan koordinasi antar badan atau unit dalam melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, yaitu:
a.   Badan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang bertugas untuk menyusun dan mengembangkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
b.   Perguruan tinggi yang berkewajiban menjalankan Sistem Penjaminan Mutu Internal;
c.   Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi dan/atau lembaga akreditasi mandiri lain yang diakui Menteri, yang bertugas menjalankan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal;
d.   Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang bertugas mengelola Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.
(3)   Menteri dapat membentuk Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat propinsi untuk melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di propinsi yang bersangkutan.
(4)   Lembaga penjaminan mutu pendidikan Tinggi yang dibentuk di tingkat propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(5)   Koordinasi yang dimaksud pada ayat (1) wajib dievaluasi oleh Menteri secara berkala agar terjadi peningkatan koordinasi yang berkelanjutan.

Pasal 117
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 116 diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB V
KETENTUAN PIDANA

Pasal 118
(1)   Setiap orang yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi tanpa memperoleh izin pendirian dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)   Pendiri Perguruan Tinggi yang tidak menutup perguruan tingginya setelah izin pendiriannya dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 119
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengalihkan kepemilikan kekayaan PTN berupa uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang secara langsung atau tidak langsung kepada siapa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 120
(1)   Pada saat Undang-Undang ini berlaku, izin pendirian Perguruan Tinggi yang sudah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku.
(2)   PTN atau PTK harus menyesuaikan aspek akademik maupun nonakademik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3)   PTS yang sudah menyelenggarakan Pendidikan Tinggi harus menyesuaikan aspek akademik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 121
(1)   Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2)   Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bagian Keempat Pasal 19 sampai dengan Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 15 terbatas pada pendidikan tinggi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(3)   Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 122
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal...

                                                                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                                                                                ttd.

                                                                        SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal...

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
            REPUBLIK INDONESIA,

                        ttd.

PATRIALIS AKBAR, SH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR...
















PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... 
TAHUN ....
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI


I.       UMUM

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial..” berdasarkan Pancasila.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa yang diatur dalam undang-undang.   
Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, negara telah memberikan kerangka yang jelas bagi Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang sesuai amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang semakin mengutamakan basis ilmu pengetahuan, maka pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi peradaban manusia.
Pada tataran praksis bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari persaingan antar bangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa lain di lain pihak. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing bangsa dan daya mitra bangsa dalam era globalisasi, diperlukan sistem pendidikan tinggi yang mampu mewujudkan dharma pendidikan yaitu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat manusia. Sedangkan dalam rangka mewujudkan dharma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, diperlukan sistem pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan karya penelitian dalam bidang ilmu, teknologi, atau seni yang dapat diabdikan bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.
Perguruan tinggi sebagai pelaksana sistem pendidikan tinggi yang mengemban amanat di atas perlu difasilitasi dengan tata kelola yang secara optimal mampu memenuhi  tuntutan amanat tersebut, yaitu tata kelola perguruan tinggi yang memiliki otonomi dalam mengelola aspek akademik dengan dukungan aspek nonakademik.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa  perguruan  tinggi memiliki  otonomi  untuk mengelola  sendiri  lembaganya  sebagai  pusat  penyelenggaraan  pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi juga menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam  mengelola  pendidikan  di  lembaganya.
Pengaturan lebih lanjut tentang sistem pendidikan tinggi yang dilaksanakan oleh perguruan  tinggi  yang memiliki otonomi, perlu  dituangkan  dalam  sebuah undang-undang yang mencakup pendidikan tinggi beserta perguruan tinggi sebagai satuan pendidikan formal yang melaksanakan  pendidikan tinggi.

II.      PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kebenaran ilmiah" adalah bahwa dalam mencari, menemukan, mendiseminasikan serta mengembangkan ilmu, teknologi dan seni yang merupakan kegiatan inti dari perguruan tinggi, dipertemukan antara kebenaran koheren yang menghasilkan hipotesis untuk diverifikasi dengan empiri yang diperoleh melalui kebenaran koresponden.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas otonomi keilmuan” adalah otonomi suatu cabang ilmu, teknologi, dan/atau seni untuk memiliki kekhasan dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran menurut kaidah serta metode keilmuannya.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kebebasan akademik” adalah kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mendalami dan mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni melalui kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kejujuran” adalah moral akademik dosen dan mahasiswa untuk senantiasa mengemukakan data dan informasi dalam ilmu, teknologi, atau seni sebagaimana adanya tanpa direkayasa, disembunyikan, atau ditutupi demi melindungi kepentingan individu atau kelompok.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa perguruan tinggi wajib menyediakan akses kepada calon mahasiswa dan memberikan layanan pendidikan tinggi kepada mahasiswa, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya.
Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Menurut UNESCO, ranah kognitif disebut learning to know, ranah afektif disebut learning to be, ranah  psikomotorik disebut learning to do, dan ranah kooperatif disebut learning to live together.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sistem terbuka” adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry multi exit system).

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Contoh “strata profesi” adalah dokter, notaris, psikolog, dan arsitek baru dapat ditempuh setelah melalui stratea sarjan pada rumpun ilmu yang sama.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengakuan atas hasil pembelajaran terdahulu” adalah recognition of prior learning”.
Ayat (2)
“Penyetaraan antarstrata pada antarjenis” contohnya notaris disetarakan magister hukum.

“Perpindahan antarjenis” contohnya sarjana hukum pindah ke notaris.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Ayat (1)
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah  peraturan perundang-undangan mengenai guru dan dosen.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “visi pendidikan nasional” adalah …
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan prinsip “nirlaba” adalah prinsip pengelolaan perguruan tinggi yang bertujuan utama tidak mencari keuntungan sehingga seluruh sisa lebih hasil pengelolaan perguruan tinggi harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan perguruan tinggi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan prinsip “otonomi” adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan prinsip “efektivitas dan efisiensi” adalah pemanfaatan sumber daya, sarana prasarana dalam standar tertentu yang secara sadar direncanakan dan ditetapkan sebelumnya untuk meningkatkan mutu pengelolaan perguruan tinggi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan prinsip “transparansi” adalah keterbukaan dan kemampuan perguruan tinggi menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan prinsip “akuntabilitas” adalah kemampuan dan komitmen perguruan tinggi untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan prinsip “penjaminan mutu” adalah kegiatan sistemik perguruan tinggi dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan secara berkelanjutan.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Ayat (1)
Pemberian mandat berlaku sejak izin diberikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Ayat (1)

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Ayat (1)
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan mengenai remunerasi.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Ayat (1)
Bagi PTN badan hukum yang akan mendirikan badan usaha, agar aset dan kekayaan PTN badan hukum tersebut tidak menjadi jaminan bagi hutang badan usaha yang didirikan apabila badan usaha tersebut dinyatakan pailit, maka sebaiknya dipilih badan usaha yang memiliki aset dan kekayaan yang terpisah secara hukum dengan aset dan kekayaan PTN badan hukum yang mendirikannya. Badan usaha yang memiliki aset dan kekayaan yang terpisah secara hukum dengan aset dan kekayaan PTN badan hukum adalah badan usaha berbentuk perseroan terbatas.

Yang dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri.

Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 95
Cukup jelas.

Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kemampuan mahasiswa, orang tua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai studinya ditetapkan dengan cara menghitung dengan ramuan antara penghasilan tetap (gaji dan tunjangan lainnya), taksasi, dan musyawarahdengan tujuan memberikan subsidi dari yang mampu kepada yang tidak mampu, sehingga meringankan beban mahasiswa yang tidak mampu membiayai pendidikannya.

Selain itu, perguruan tinggi diharapkan membuat strata pembayaran biaya studi berdasarkan kemampuan mahasiswa, orang tua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai studinya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain mengenai pertanggungjawaban keuangan negara.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemerintah berwenang mewajibkan PTS membentuk Senat Akademik yang berfungsi merencanakan dan mengawasi kebijakan akademik Perguruan Tinggi karena aspek akademik merupakan wewenang Menteri. Selain itu, karena kegiatan utama dari perguruan tinggi adalah kegiatan akademik, maka penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, serta peningkatannya harus dilakukan oleh organ yang memiliki kapasitas dalam bidang akademik tersebut. Organ yang dimaksud adalah organ senat akademik.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian yang berlaku bagi pegawai negeri sipil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 110
Cukup jelas.

Pasal 111
Cukup jelas.

Pasal 112
Cukup jelas.

Pasal 113
Cukup jelas.

Pasal 114
Cukup jelas.

Pasal 115
Cukup jelas.

Pasal 116
Cukup jelas.

Pasal 117
Cukup jelas.

Pasal 118
Cukup jelas.

Pasal 119
Cukup jelas.

Pasal 120
Cukup jelas.

Pasal  121
Cukup jelas.

Pasal  122
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA  NOMOR ….














Tidak ada komentar:

Posting Komentar