Minggu, 13 November 2011

PP 66 2010 PERUBAHAN PP 17 2010 PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN




LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


No. 112, 2010(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5157)



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 66 TAHUN 2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2010
TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:a.bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan tidak mengatur tata kelola satuan pendidikan karena telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan;
b.bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan;

Mengingat:1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);



MEMUTUSKAN:

Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN.



Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5105), diubah sebagai berikut:

1.Ketentuan Pasal 1 diubah, di antara angka 17 dan angka 18 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 17A dan ketentuan angka 22 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.Pengelolaan pendidikan adalah pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
2.Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
3.Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
4.Taman Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat TK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
5.Raudhatul Athfal, yang selanjutnya disingkat RA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
6.Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
7.Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang diselenggarakan pada satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat.
8.Sekolah Dasar, yang selanjutnya disingkat SD, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar.
9.Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar.
10.Sekolah Menengah Pertama, yang selanjutnya disingkat SMP, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.
11.Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.
12.Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat.
13.Sekolah Menengah Atas, yang selanjutnya disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
14.Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
15.Sekolah Menengah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat SMK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
16.Madrasah Aliyah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat MAK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
17.Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal setelah pendidikan menengah yang dapat berupa program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
17A.Akademi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam 1 (satu) cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu.
18.Politeknik adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
19.Sekolah tinggi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
20.Institut adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
21.Universitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
22.Program studi adalah program yang mencakup kesatuan rencana belajar sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan atas dasar suatu kurikulum serta ditujukan agar peserta didik dapat menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan sasaran kurikulum.
23.Jurusan atau nama lain yang sejenis adalah himpunan sumber daya pendukung program studi dalam 1 (satu) rumpun disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
24.Fakultas atau nama lain yang sejenis adalah himpunan sumber daya pendukung, yang dapat dikelompokkan menurut jurusan, yang menyelenggarakan dan mengelola pendidikan akademik, vokasi, atau profesi dalam 1 (satu) rumpun disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
25.Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
26.Standar pelayanan minimal adalah kriteria minimal berupa nilai kumulatif pemenuhan Standar Nasional Pendidikan yang harus dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan.
27.Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.
28.Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan pada perguruan tinggi dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
29.Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi.
30.Sivitas akademika adalah komunitas dosen dan mahasiswa pada perguruan tinggi.
31.Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
32.Kelompok belajar adalah satuan pendidikan nonformal yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang saling membelajarkan pengalaman dan kemampuan dalam rangka meningkatkan mutu dan taraf kehidupannya.
33.Pusat kegiatan belajar masyarakat adalah satuan pendidikan nonformal yang menyelenggarakan berbagai kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan masyarakat atas dasar prakarsa dari, oleh, dan untuk masyarakat.
34.Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah.
35.Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.
36.Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan/atau sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
37.Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
38.Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
39.Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
40.Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
41.Organisasi profesi adalah kumpulan anggota masyarakat yang memiliki keahlian tertentu yang berbadan hukum dan bersifat nonkomersial.
42.Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
43.Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
44.Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan nasional.
45.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
46.Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
47.Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan nasional."

2.Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga Pasal 49 berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 49

(1)Pengelolaan satuan pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.
(2)Pengelolaan satuan pendidikan didasarkan pada prinsip:
a.nirlaba, yaitu prinsip kegiatan satuan pendidikan yang bertujuan utama tidak mencari keuntungan, sehingga seluruh sisa lebih hasil kegiatan satuan pendidikan harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan satuan pendidikan;
b.akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen satuan pendidikan untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik satuan pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan secara berkelanjutan;
d.transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan satuan pendidikan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan.
e.akses berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa pengecualian."

3.Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 53

(1)Satuan pendidikan wajib memberikan layanan pendidikan kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonomi.
(2)Satuan pendidikan wajib menjamin akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang membutuhkan pendidikan khusus, dan layanan khusus."

4.Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 53A dan Pasal 53B yang berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 53A

(1)Satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing wajib mengalokasikan tempat bagi calon peserta didik berkewarganegaraan Indonesia, yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi, paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik baru.
(2)Satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing wajib menyediakan beasiswa bagi peserta didik berkewarganegaraan Indonesia yang berprestasi.
(3)Satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing wajib menyediakan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berkewarganegaraan Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi dan yang orang tua atau pihak yang membiayai tidak mampu secara ekonomi.
(4)Bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan kepada paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik.
(5)Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dapat mengalokasikan beasiswa bagi warga negara asing.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai beasiswa dan bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 53B

(1)Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah wajib menjaring peserta didik baru program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari jumlah peserta didik baru yang diterima untuk setiap program studi pada program pendidikan sarjana.
(2)Pola penerimaan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penerimaan mahasiswa melalui penelusuran minat dan bakat atau bentuk lain yang sejenis.
(3)Peserta didik baru yang terjaring melalui pola penerimaan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi dan yang orang tua atau pihak yang membiayai tidak mampu secara ekonomi.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pola penerimaan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri."

5.Di antara Pasal 58 dan Pasal 59 disisipkan 10 (sepuluh) pasal yakni Pasal 58A, Pasal 58B, Pasal 58C, Pasal 58D, Pasal 58E, Pasal 58F, Pasal 58G, Pasal 58H, Pasal 58I, dan Pasal 58J yang berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 58A
Satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah memiliki paling sedikit 2 (dua) organ yang terdiri atas:
a.kepala sekolah/madrasah yang menjalankan fungsi manajemen satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah; dan
b.komite sekolah/madrasah yang menjalankan fungsi pengarahan, pertimbangan, dan pengawasan akademik.



Pasal 58B

(1)Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah menggunakan tata kelola sebagai berikut:
a.kepala sekolah/madrasah menjalankan manajemen berbasis sekolah/madrasah untuk dan atas nama Gubernur/Bupati/Walikota atau Menteri Agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.komite sekolah/madrasah memberi bantuan pengarahan, pertimbangan, dan melakukan pengawasan akademik kepada dan terhadap kepala sekolah/madrasah.
(2)Manajemen berbasis sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kewenangan kepala sekolah/madrasah menentukan secara mandiri untuk satuan pendidikan yang dikelolanya dalam bidang manajemen, yang meliputi:
a.rencana strategis dan operasional;
b.struktur organisasi dan tata kerja;
c.sistem audit dan pengawasan internal; dan
d.sistem penjaminan mutu internal.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota atau Peraturan Menteri Agama.



Pasal 58C

(1)Organ dan pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat menggunakan tata kelola yang ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)Pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan prinsip sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2).



Pasal 58D

(1)Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah memiliki paling sedikit 4 (empat) jenis organ yang terdiri atas:
a.rektor, ketua, atau direktur yang menjalankan fungsi pengelolaan satuan pendidikan tinggi;
b.senat universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, atau politeknik yang menjalankan fungsi pertimbangan dan pengawasan akademik;
c.satuan pengawasan yang menjalankan fungsi pengawasan bidang non-akademik; dan
d.dewan pertimbangan yang menjalankan fungsi pertimbangan non-akademik dan fungsi lain yang ditentukan dalam statuta satuan pendidikan tinggi masing-masing.
(2)Nama organ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d diatur dalam statuta satuan pendidikan tinggi masing-masing.
(3)Ketentuan mengenai jumlah dan jenis organ selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam statuta satuan pendidikan tinggi masing-masing.



Pasal 58E

(1)Rektor, ketua, atau direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58D ayat (1) huruf a diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atau Menteri Agama, sebagai pemimpin satuan pendidikan tinggi.
(2)Rektor, ketua, atau direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibantu oleh beberapa unsur pimpinan pada tingkat satuan pendidikan tinggi dan/atau pada tingkat fakultas atau sebutan lain yang sejenis.
(3)Jumlah dan jenis unsur pimpinan satuan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam statuta satuan pendidikan tinggi masing-masing atas persetujuan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
(4)Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian rektor, ketua, atau direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 58F

(1)Tata kelola satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai berikut:
a.rektor, ketua, atau direktur menjalankan otonomi perguruan tinggi untuk dan atas nama Menteri dalam bidang pendidikan tinggi, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan bidang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.senat universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, atau politeknik memberi pertimbangan dan melakukan pengawasan terhadap rektor, ketua, atau direktur dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi bidang akademik;
c.satuan pengawasan melakukan pengawasan pelaksanaan otonomi perguruan tinggi bidang non akademik untuk dan atas nama rektor, ketua, atau direktur;
d.dewan pertimbangan memberi pertimbangan otonomi perguruan tinggi bidang non-akademik dan fungsi lain sesuai statuta kepada rektor, ketua, atau direktur.
(2)Otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas kewenangan rektor, ketua, atau direktur menentukan secara mandiri satuan pendidikan yang dikelolanya antara lain dalam:
a.bidang manajemen organisasi, yaitu:
1.rencana strategis dan operasional;
2.struktur organisasi dan tata kerja;
3.sistem pengendalian dan pengawasan internal; dan
4.sistem penjaminan mutu internal, yang ditetapkan oleh rektor, ketua, atau direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.bidang akademik, yaitu:
1.norma, kebijakan, dan pelaksanaan pendidikan:
a)persyaratan akademik mahasiswa yang akan diterima;
b)pembukaan, perubahan, dan penutupan program studi;
c)kerangka dasar dan struktur kurikulum serta kurikulum program studi;
d)proses pembelajaran;
e)penilaian hasil belajar;
f)persyaratan kelulusan; dan
g)wisuda.
2.norma, kebijakan, serta pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
c.bidang kemahasiswaan, yaitu:
1.norma dan kebijakan kemahasiswaan;
2.kegiatan kemahasiswaan intrakurikuler dan ekstrakurikuler;
3.organisasi kemahasiswaan; dan
4.pembinaan bakat dan minat mahasiswa.
d.bidang sumber daya manusia, yaitu:
1.norma dan kebijakan pengelolaan sumber daya manusia;
2.persyaratan dan prosedur penerimaan sumber daya manusia;
3.penugasan dan pembinaan sumber daya manusia;
4.penyusunan target kerja dan jenjang karir sumber daya manusia; dan
5.pemberhentian sumber daya manusia, yang ditetapkan oleh rektor, ketua, direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian.
e.bidang sarana dan prasarana, yaitu:
1.norma dan kebijakan pengelolaan sarana dan prasarana; dan
2.penggunaan sarana dan prasarana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)Otonomi perguruan tinggi dalam:
a.bidang keuangan yaitu:
1.norma dan kebijakan pengelolaan bidang keuangan;
2.perencanaan dan pengelolaan anggaran jangka pendek dan jangka panjang;
3.tarif setiap jenis layanan pendidikan;
4.penerimaan, pembelanjaan, dan pengelolaan uang;
5.melakukan investasi jangka pendek dan jangka panjang;
6.melakukan pengikatan dalam tri dharma perguruan tinggi dengan pihak ketiga;
7.memiliki utang dan piutang jangka pendek dan jangka panjang; dan
8.sistem pencatatan dan pelaporan keuangan.
b.bidang sumber daya manusia yaitu jenis dan besar gaji serta tunjangan yang melekat pada gaji yang diberikan di atas gaji dan tunjangan melekat yang diterima pegawai negeri sipil.
c.bidang sarana dan prasarana yaitu:
1.pembelian dan tatacara pembelian sarana dan prasarana;
2.pencatatan sarana dan prasarana;
3.penghapusan sarana dan prasarana, dapat dijalankan apabila satuan pendidikan tinggi menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan satuan pendidikan tinggi, dan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam statuta masing-masing satuan pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh Menteri.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang sesuai dengan karakteristik pengelolaan satuan pendidikan tinggi ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6)Dalam hal satuan pendidikan tinggi tidak menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum maka otonomi sebagaimana tercantum pada ayat (3) diatur dengan pola pengelolaan keuangan negara pada umumnya.



Pasal 58G

(1)Organ dan pengelolaan satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat menggunakan tata kelola yang ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)Pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan prinsip sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2).



Pasal 58H

(1)Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing menanggung seluruh biaya investasi, biaya operasional, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.
(2)Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan dan kewenangan masing-masing menanggung biaya investasi, biaya operasional, beasiswa, dan/atau bantuan biaya pendidikan bagi satuan pendidikan anak usia dini jalur formal dan/atau pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)Pemerintah sesuai dengan kemampuan keuangan negara menanggung biaya investasi, biaya operasional, beasiswa, dan/atau bantuan biaya pendidikan bagi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)Dana untuk biaya investasi, biaya operasional, beasiswa, dan/atau bantuan biaya pendidikan bagi satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah disalurkan kepada kepala sekolah/madrasah dan dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)Dana untuk biaya investasi, biaya operasional, beasiswa, dan/atau bantuan biaya pendidikan bagi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah disalurkan kepada rektor, ketua, atau direktur dan dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 58I
Satuan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum.



Pasal 58J

(1)Akuntabilitas pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan wajib diwujudkan paling sedikit dengan:
a.menyelenggarakan tata kelola satuan pendidikan berdasarkan prinsip tata kelola satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2);
b.menyeimbangkan jumlah peserta didik, kapasitas sarana dan prasarana, pendidik, tenaga kependidikan serta sumber daya lainnya;
c.menyelenggarakan pendidikan tidak secara komersial; dan
d.menyusun laporan penyelenggaraan pendidikan dan laporan keuangan tepat waktu, transparan, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

6.Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga Pasal 60 berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 60

(1)Penyelenggaraan pendidikan formal meliputi:
a.pendidikan anak usia dini;
b.pendidikan dasar;
c.pendidikan menengah; dan
d.pendidikan tinggi.
(2)Penyelenggara satuan pendidikan terdiri atas:
a.pemerintah daerah yang menyelenggarakan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar dan menengah;
b.Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama menyelenggarakan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar dan menengah;
c.Kementerian yang menyelenggarakan satuan pendidikan tinggi; dan
d.masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, menengah, dan/atau tinggi, melalui badan hukum yang berbentuk antara lain yayasan, perkumpulan, dan badan lain sejenis."

7.Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga Pasal 170 berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 170

(1)Pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan non-pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)Pendidik dan tenaga kependidikan non-pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan kepala sekolah/madrasah atau rektor, ketua, atau direktur.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan isi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri."

8.Judul BAB XIII diubah sehingga BAB XIII berbunyi sebagai berikut:



"BAB XIII
PENDIRIAN, PERUBAHAN, DAN PENUTUPAN SATUAN
PENDIDIKAN"

9.Ketentuan Pasal 182 diubah dan di antara ayat (9) dan ayat (10) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (9a) sehingga Pasal 182 berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 182

(1)Pendirian program atau satuan pendidikan anak usia dini formal, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2)Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk TK, SD, SMP, SMA, dan SMK, yang memenuhi standar pelayanan minimum sampai dengan Standar Nasional Pendidikan, diberikan oleh bupati/walikota.
(3)Izin pengembangan SD, SMP, SMA, dan SMK, yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan menjadi satuan dan/atau program pendidikan bertaraf internasional diberikan oleh Menteri.
(4)Izin pengembangan SD, SMP, SMA, dan SMK, yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan menjadi satuan dan/atau program pendidikan berbasis keunggulan lokal, diberikan oleh bupati/walikota.
(5)Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk satuan pendidikan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diberikan oleh gubernur.
(6)Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk RA, MI, MTs, MA, MAK, dan pendidikan keagamaan dikeluarkan oleh Menteri Agama.
(7)Izin pengembangan RA, MI, MTs, MA, MAK, dan pendidikan keagamaan menjadi satuan dan/atau program pendidikan bertaraf internasional atau berbasis keunggulan lokal dikeluarkan oleh Menteri Agama.
(8)Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk universitas dan institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah diberikan oleh Presiden atas usul Menteri.
(9)Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk sekolah tinggi, politeknik, dan akademi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diberikan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur Negara.
(9a)Izin pendirian perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diselenggarakan oleh masyarakat diberikan oleh Menteri atas usul pengurus atau nama lain yang sejenis dari badan hukum nirlaba yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(10)Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk satuan pendidikan Indonesia di luar negeri diberikan oleh Menteri.
(11)Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pemberian izin satuan pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) diatur dengan Peraturan Menteri."

10.Ketentuan Pasal 184 diubah, dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (6) sehingga Pasal 184 berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 184

(1)Syarat-syarat pendirian satuan pendidikan formal meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
(2)Syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dalam Standar Nasional Pendidikan.
(3)Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian satuan pendidikan harus melampirkan:
a.hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan formal dari segi tata ruang, geografis, dan ekologis;
b.hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan formal dari segi prospek pendaftar, keuangan, sosial, dan budaya;
c.data mengenai perimbangan antara jumlah satuan pendidikan formal dengan penduduk usia sekolah di wilayah tersebut;
d.data mengenai perkiraan jarak satuan pendidikan yang diusulkan di antara gugus satuan pendidikan formal sejenis;
e.data mengenai kapasitas daya tampung dan lingkup jangkauan satuan pendidikan formal sejenis yang ada; dan
f.data mengenai perkiraan pembiayaan untuk kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun akademik berikutnya.
(4)Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh kementerian lain atau lembaga pemerintah nonkementerian, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus pula memenuhi persyaratan:
a.memiliki program-program studi yang diselenggarakan secara khas terkait dengan tugas dan fungsi kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan; dan
b.adanya undang-undang sektor terkait yang menyatakan perlu diadakannya pendidikan yang diselenggarakan secara khas terkait dengan tugas dan fungsi kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan.
(5)Kewenangan membuka, mengubah, dan menutup program studi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58F ayat (2) huruf (b) butir (1.b) diberikan secara bertahap kepada perguruan tinggi.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai pentahapan pemberian kewenangan untuk membuka dan menutup program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri."

11.Di antara Pasal 184 dan Pasal 185 disisipkan 2 (dua) pasal baru yakni Pasal 184A dan Pasal 184B yang berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 184A

(1)Perubahan perguruan tinggi dapat dilakukan melalui:
a.perubahan nama dan/atau bentuk dari nama dan/atau bentuk perguruan tinggi tertentu menjadi nama dan/atau bentuk perguruan tinggi yang lain;
b.penggabungan 2 (dua) atau lebih perguruan tinggi menjadi 1 (satu) perguruan tinggi baru;
c.1 (satu) atau lebih perguruan tinggi bergabung ke perguruan tinggi lain;
d.pemecahan dari 1 (satu) bentuk perguruan tinggi menjadi 2 (dua) atau lebih bentuk perguruan tinggi yang lain.
(2)Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 184B

(1)Penutupan universitas dan institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.
(2)Penutupan sekolah tinggi, politeknik, dan akademi yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan oleh Menteri.
(3)Penutupan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh badan hukum penyelenggara pendidikan setelah ijin dicabut oleh Menteri.
(4)Penutupan perguruan tinggi atau pencabutan ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan apabila perguruan tinggi yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat pendirian atau proses penyelenggaraan perguruan tinggi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan perguruan tinggi atau pencabutan ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri."

12.Pasal 207 diubah sehingga Pasal 207 berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 207

(1)Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penundaan atau pembatalan pemberian sumber daya pendidikan kepada satuan pendidikan, penutupan satuan pendidikan dan/atau program pendidikan yang melaksanakan pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 53, Pasal 53B ayat (1), Pasal 54 Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 58J ayat (1), Pasal 69 ayat (4), Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72, Pasal 81 ayat (6), Pasal 95, Pasal 122 ayat (1), Pasal 131 ayat (5), Pasal 162 ayat (2), Pasal 184, dan Pasal 184A.
(2)Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan pengenaan sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri."

13.Di antara Pasal 220 dan Pasal 221 disisipkan 6 (enam) pasal yakni Pasal 220A, Pasal 220B, Pasal 220C, Pasal 220D, Pasal 220E, dan Pasal 220F yang berbunyi sebagai berikut:



"Pasal 220A

(1)Pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2)Penyesuaian pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
(3)Pengalihan status kepegawaian dosen dan tenaga kependidikan pada Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga yang sebelumnya berstatus sebagai pegawai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga ditetapkan sebagai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
(5)Penetapan lebih lanjut masing-masing perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Presiden.



Pasal 220B

(1)Pengelolaan keuangan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga, menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(2)Penetapan penerapan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(3)Penyesuaian tata kelola keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan paling lambat 31 Desember 2012.



Pasal 220C

(1)Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara yang telah memperoleh pemisahan kekayaan negara yang ditempatkan sebagai kekayaan awal Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun wajib menyelesaikan pengalihan kekayaan negara kepada Menteri.
(2)Para pihak pada perjanjian yang telah dibuat oleh Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara dengan pihak lain wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.



Pasal 220D

(1)Satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah tetap mengelola satuan pendidikan sampai dilakukan penyesuaian tata kelola paling lama 4 (empat) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
(2)Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah tetap mengelola satuan pendidikan sampai dilakukan penyesuaian tata kelola paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
(3)Penyesuaian tata kelola satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri Agama atau Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4)Penyesuaian tata kelola satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian tata kelola satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian tata kelola satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 220E
Yayasan, perkumpulan, dan badan lain sejenis yang telah berstatus badan hukum, tetap menyelenggarakan satuan pendidikan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai badan hukum nirlaba.



Pasal 220F

(1)Pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh Universitas Pertahanan yang sebelumnya adalah Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Universitas Pertahanan dinyatakan masih tetap berlangsung sejak tanggal 31 Maret 2010 sampai Universitas Pertahanan menyesuaikan tata kelola berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2)Penyesuaian tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
(3)Universitas Pertahanan ditetapkan sebagai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
(4)Penetapan lebih lanjut Universitas Pertahanan sebagai satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.



Pasal 220G

(1)Pengelolaan keuangan Universitas Pertahanan menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(2)Penetapan penerapan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (3) Penyesuaian tata kelola keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan paling lambat 31 Desember 2012.



Pasal 220H
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tata kelola perguruan tinggi yang diatur dalam:
a.Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 270);
b.Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Gadjah Mada sebagai Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 271);
c.Peraturan Pemerintah Nomor 154 Tahun 2000 tentang Penetapan Institut Pertanian Bogor sebagai Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 272);
d.Peraturan Pemerintah Nomor 155 Tahun 2000 tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung sebagai Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 273);
e.Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2003 tentang Penetapan Universitas Sumatera Utara sebagai Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 125);
f.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penetapan Universitas Pendidikan Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 13);
g.Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2006 tentang Penetapan Universitas Airlangga sebagai Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 6); dan
h.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2010 tentang Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Universitas Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 48);
masih tetap berlaku sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan sesudah masa transisi.



Pasal 220I
Tata kelola perguruan tinggi yang dinyatakan masih tetap berlaku sebagaimana dimaksud dalam pasal 220H adalah tidak termasuk tata kelola keuangan."



Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 28 September 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 28 September 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR





TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI


No. 5157(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 112)



PENJELASAN
ATAS RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 66 TAHUN 2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2010
TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

I.UMUM

Pada tanggal 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 telah menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan tidak mengikat secara hukum.
Putusan tersebut telah mengakibatkan ketiadaan ketentuan yang mengatur tentang penyelenggara dan tata kelola satuan pendidikan, karena pengaturan tentang hal tersebut telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang ditetapkan pada tanggal 28 Januari 2010 tidak mengatur tentang penyelenggara dan tata kelola satuan pendidikan. Sementara itu, peraturan perundangan yang telah ada sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang mengatur penyelenggara dan tata kelola satuan pendidikan, telah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010.
Sehubungan dengan hal tersebut, dan sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan perlu diatur materi atau substansi mengenai tata kelola satuan pendidikan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pengaturan mengenai tata kelola satuan pendidikan dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan agar satuan pendidikan dapat tetap menjalankan kegiatannya, maka dipandang perlu untuk segera melakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

II.PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 49
Ayat (1)
Manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 3
Pasal 53
Cukup jelas.

Angka 4
Pasal 53A
Cukup jelas.

Pasal 53B
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bentuk lain yang sejenis" antara lain penerimaan mahasiswa melalui ujian tertulis dan penerimaan mahasiswa dengan beasiswa pemerintah daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 5
Pasal 58A
Satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, termasuk satuan pendidikan khusus yang sederajat, antara lain TK LB, SD LB, SMP LB, SMA LB.

Pasal 58B
Cukup jelas.

Pasal 58C
Cukup jelas.

Pasal 58D
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan dewan pertimbangan antara lain Majelis Wali Amanat atau Dewan Penyantun atau organ sejenis lainnya yang fungsinya ditentukan dalam statuta satuan pendidikan masing-masing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 58E
Cukup jelas.

Pasal 58F
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "otonomi perguruan tinggi dalam bidang keuangan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana" adalah fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan badan layanan umum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 58G
Cukup jelas.

Pasal 58H
Cukup jelas.

Pasal 58I
Cukup jelas.

Pasal 58J
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Satuan pendidikan dinyatakan tidak melakukan komersialisasi apabila kelebihan penghasilan satuan pendidikan digunakan secara langsung untuk:
1.kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran;
2.pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (khusus untuk satuan pendidikan tinggi);
3.peningkatan pelayanan pendidikan, dan penggunaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4.bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik kurang mampu.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 60
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 170
Cukup jelas.

Angka 8
Cukup jelas.

Angka 9
Pasal 182
Cukup jelas.

Angka 10
Pasal 184
Cukup jelas.

Angka 11
Pasal 184A
Cukup jelas.

Pasal 184B
Cukup jelas.

Angka 12
Pasal 207
Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 220A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Agar penyesuaian tata kelola satuan pendidikan tinggi pada Peraturan Pemerintah ini dapat diselesaikan dalam kurun waktu paling lama 3 (tiga) tahun, maka satuan pendidikan tinggi harus menyusun terlebih dahulu perencanaan yaitu penyesuaian tata kelola perguruan tinggi sesuai dengan peraturan pemerintah ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 220B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga memenuhi kewajiban sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan yang diatur dalam peraturan pemerintah mengenai pengelolaan keuangan badan layanan umum paling lambat 31 Desember 2012.

Pasal 220C
Cukup jelas.

Pasal 220D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 220A ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 220E
Cukup jelas.

Pasal 220F
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 220A ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 220G
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Universitas Pertahanan memenuhi kewajiban sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan yang diatur dalam peraturan pemerintah mengenai pengelolaan keuangan badan layanan umum paling lambat 31 Desember 2012.

Pasal 220H
Cukup jelas.

Pasal 220I
Tata kelola keuangan sudah menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220B dan Pasal 220G.

Pasal II
Cukup jelas

______________________________

2011/09/15

MULTI INTEPRETASI TERHADAP MASA TRANSISI UNIVERSITAS INDONESIA DISAHKANNYA PP NO. 66 TAHUN 2010

Polemik pemberian gelar kehormatan Doctor Honoris Causa kepada Raja Arab Saudi oleh Rektor Universitas Indonesia terus bergulir dari hari ke hari. Isu yang muncul kepermukaan pun semakin meluas, tidak lagi hanya berkutat pada kontroversi pemberian gelar DR HC, tetapi masuk kepada ranah lain, salah satunya adalah sistem tata kelola di internal Universitas Indonesia.

Koreksi terhadap tata kelola dan pelaksanaan good governance di UI bukanlah isu baru, karena sudah kerap diungkapkan diberbagai kesempatan. Namun koreksi-koreksi yang ada sebelumnya terjadi secara terpisah dan tidak mendapat perhatian besar. Berkembangnya protes terhadap kebijakan Rektor UI tersebut seakan menjadi pintu masuk untuk menyuarakan kembali koreksi terhadap tata kelola UI, dimana secara kebetulan kali ini mendapatkan respon yang sangat besar dari masyarakat luas. Selain itu, langkah Rektor UI membentuk Senat Universitas Indonesia (SUI) melalui Peraturan Rektor No. 1141 A/SK/R/UI/2011 dan Senat Fakultas di Universitas Indonesia (SFUI) dengan Peraturan Rektor No. 1141 B/SK/R/UI/2011, dengan argumentasi bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik Universitas (SAU) sudah tidak ada lagi, menjadikan jabatan Rektor seakan tanpa pengawasan saat ini. Kondisi tersebut semakin mempertegas bahwa ada kesalahan dalam sistem tata kelola yang berjalan saat ini di UI.

Pembentukan SUI dan SFUI oleh Rektor UI didasarkan kepada intrepretasi terhadap peraturan yang berlaku saat ini. Rektor UI, berdasar kepada Legal Opinion yang disusun oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, SH, berpendapat bahwa setelah ada Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, yang menyatakan bahwa Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentag Badan Hukum Pendidikan, status UI tidak lagi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), tetapi kembali menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Salah satu konsekuensi dari perubahan status tersebut adalah jabatan Rektor UI sebagai pengambil keputusan tertinggi, yang mendapatkan delegasi kewenangan langsung dari Menteri Pendidikan Nasional. Legal Opinion diatas diperkuat pula oleh adanya surat dari Jaksa Agung No. R.043/A/Gtn.1/04/2010 kepada Menteri Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Pertama, terbitnya Putusan MK yang menyatakan UU BHP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, mengakibatkan penyelenggaraan perguruan Tinggi dengan status hukum BHMN tidak memiliki dasr hukum mengikat, dan penyelenggaraannya harus dikembalikan menjadi PTN. Kedua, Putusan MK tersebut masih memperbolehkan adanya badan hukum pendidikan sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan. Namun, dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, belum mengatur secara tegas mengenai penyelenggara pendidikan. Sehingga diperlukan PP yang baru atau perubahan atas PP 17/2010. Ketiga, selama belum dibentuk PP baru ataupun PP perubahan dari PP 17/2010 maka perguruan tinggi yang berstatus BHMN harus dikembalikan menjadi PTN.

Dari Legal Opinion tersebut terlihat memang sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Namun apabila dilihat lebih teliti, ada beberapa hal yang luput untuk dipertimbangkan, terutama dalam memaknai masa transisi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Sebelum menjelaskan lebih detail mengenai analisa terhadap Legal Opinion yang dipakai oleh Rektor dalam menlakukan interpretasi terhadap peraturan yang ada. Ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan mengenai sejarah pengaturan tata kelola UI, terutama pasca perubahan stausnya menjadi BHMN. Dengan perubahan status pengelolaan UI menjadi BHMN, maka pengelolaannya tidak lagi berada dibawah Kementerian (dahulu Departemen) Pendidikan Nasional , tetapi diberikan kepada UI secara mandiri atas nama otonomi perguruan tinggi. Selain itu, status BHMN sebenarnya bukanlah status baru dan khusus diberikan kepada lembaga pendidikan, karena sebelumnya Bada Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) juga berstatus BHMN. Perubahan status UI dari PTN menjadi BHMN dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 152 tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara. Kemudian PP tersebut yang menjadi statuta pertama UI dalam statusnya sebagai BHMN. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa PP 152/2000 menjadi peraturan pertama yang mengatur mengenai tata kelola UI pasca beralih status menjadi BHMN.

Pembetukan PP 152/2000 tidak bisa dipisahkan dari PP yang dibentuk sebelumnya, yaitu PP No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. Pada Pasal 123 ayat (1) PP 60/1999 disebutkan bahwa “Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri.” Pasal inilah yang menjadi bibit awal pemberian otonomi kepada perguruan tinggi Pemerintah, yang telah dianggap mampu mandiri, untuk diberikan otonomi dalam pengelolaannya. Dalam ayat (2) Pasal yang sama disebutkan kemudian bahwa “Ketentuan-ketentuan mengenai Badan Hukum sebagaimana disebut pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Pasal inilah yang secara langsung memberikan delegasi untuk pembentukan PP No. 61/1999. Dalam PP tersebut dijelaskan mengenai tata cara perubahan status suatu universitas dari PTN menjadi BHMN, dimana dalam pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa perubahan status ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam pasal tersebutlah yang menjadi dasar pembentukan PP 152/2000 dan PP sejenis yang menetapkan PTN menjadi BHMN.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa perubahan status UI dari PTN menjadi BHMN dengan berdasar kepada tiga PP, yaitu PP 60/1999, PP 61/1999. dan PP 152/2000. Ketiga PP tersebut dibentuk pada saat UU Sisdiknas masih diatur dalam UU No. 2 tahun 1989. Sehingga muncul pertanyaan apakah ketiga PP tersebut menjadi otomatis tidak berlaku pasca disahkannya UU No. 20 tahun 2003 sebagai revisi dari UU No. 2 Tahun 1989? Jawabannya adalah tidak. Kondisi tersebut terjadi karena dalam peraturan peralihan, Pasal 72, UU No. 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa: “Penyelenggara pendidikan yang pada saat undang-undnag ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.” PP 152/2000 terus berlaku sampai pada disahkannya UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

UU BHP kemudian mengganti peran dari PP 152/2000 sebagai peraturan yang mengatur mengenai status pengelolaan perguruan tinggi termasuk tata kelola dari perguruan tinggi tersebut. Selain PP 152/2000, PP 60/1999 dan PP 61/1999 pun direvisi, yaitu dengan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP ini tidak mengandung pengaturan mengenai tata kelola perguruan tinggi, karena pada saat itu sudah diatur dalam UU BHP. Kondisi diatas terus berjalan sampai pada MK mengeluarkan Putusan No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Dalam salah satu amar putusan tersebut menyebutkan bahwa UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Putusan ini secara otomatis menimbulkan kekosongan hukum terkait dengan pengaturan mengenai tata kelola perguruan tinggi, ditambah lagi PP 60/1999 dan PP 61/1999 telah direvisi oleh PP 17/2010.

Kondisi tersebut disadari betul oleh Pemerintah yang kemudian membentuk Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Penambahan ketentuan melalui PP 66/2010 dikhususkan untuk pengaturan mengenai tata kelola saja. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah PP 152/2000 dihapuskan oleh PP 17/2010, pengaturan mengenai tata kelola bagi UI diatur oleh PP 66/2010. Pada PP 66/2010 memang mengatur bahwa UI tidak lagi memakai bentuk BHMN dalam pengelolaannya, tetapi kembali menjadi PTN, yang berarti berada dibawah Kementerian Pendidikan Nasional. Namun, pelaksanaannya tidak serta merta langsung aktif seketika setelah PP 66/2010 disahkan, karena ada masa transisi atau peralihan pergantian status pengelolaan. Pasal 220A ayat (1) PP 66/2010 menyebutkan bahwa “Pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini” Pengaturan mengenai masa transisi dilanjutkan dengan ketentuan dalam Pasal 220A ayat (2) yang menyatakan bahwa “Penyesuaian pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan”.

Dari kedua ketentuan diatas jelas mengatur bahwa tata kelola dalam PP 66/2000 tidak berlaku serta merta, sehingga ketentuan sebelumnya mengenai tata kelola UI, yaitu PP 152 /2000 masih tetap berlaku. Penggunaan masa transisi terhadap perubahan suatu sistem lumrah terjadi, terutama apabila dalam transisi tersebut perlu waktu yang cukup untuk melakukan penyesuaian. Begitu pula dengan perubahan tata kelola di UI, yang tidak hanya perubahan struktur yang dibutuhkan, tetapi juga hal-hal lain, yaitu mencakup status kepegawaian, status aset kepemilikan tanah dan bangunan, serta pengesahan statuta baru sebagai dasar pengelolaan UI kedepan. Selain itu, masa transisi juga harus dimanfaatkan sebagai ajang konsolidasi di internal UI, dimana keseluruhan prosesnya harus dapat dimaknai oleh seluruh civitas academika UI, tidak hanya milik Rektor UI seorang. Dengan adanya partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi maka masa transisi tersebut akan melahirkan rasa memiliki dari civitas academika terhadap UI, dan kebijakan apapun dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar